Kelahiranku
Aku
baru saja mengetahui bahwa keberadaanku sejak dalam kandungan sempat diragukan
bahkan sempat akan digugurkan.
Setiap malam, mimi merasakan sakit yang
amat pada perutnya. Siang malam mimi tak bisa tidur nyenyak karena mengeluhkan
sakit perut yang tak kunjung mereda. Saat itu, mamang tak mampu membawa mimi
ke dokter. “Uangnya hanya cukup untuk makan hari ini saja”, kata mamang. Namun,
tak tega sebagai seorang suami, akhirnya mamang mengambil keputusan untuk
berhutang.
“Wadone njenengan kena liver, Pak.” Itu
kata dokter yang memeriksa mimi.
“Liver adalah salah satu jenis penyakit
kerusakan fungsi hati yang sudah parah.” Jelas dokter dengan tegas.
“Silahkan pikirkan untuk tindakan
operasi yang harus dijalani, sementara minumlah obat yang saya anjurkan, ini
resepnya.”
“Nggih matur nuwun, Pak dokter, ” Mamang
meminta berjabat tangan tanpa ekspresi.
Tanpa tanggapan dan jawaban apapun
mamang membawa mimi pulang. Resep obatpun tak ditebus. Sepanjang jalan pulang,
mamang masih tak percaya akan ucapan dokter. Darimana dokter tau penyakit mimi
padahal dokter hanya menanyakan apa yang mimi rasakan saat ini. Mimi pun hanya
menjawab sakit perut dan susah susah tidur. Bagaimana mungkin dokter mengatakan
mimi mengalami kerusakan fungsi hati padahal dokter tak memeriksa mimi sama
sekali. "Kalau begitu, saya juga bisa jadi dokter", canda mamang dalam hati.
Satu bulan, terlewati. Mimi masih saja sering mengeluhkan rasa sakit itu. Mimi merasa badannya panas, merasa tidak nyaman. Dua bulan, tiga bulan terlewati. Semakin parah rasa sakit yang diderita mimi, terlebih lagi mimi menanggung kekhawatiran yang amat besar terhadap kesehatannya. Hingga
empat bulan berlalu, selama itu pula mimi terus saja mengeluhkan sakitnya yang tak
kunjung sembuh. Mimi sempat putus asa. Kini perut mimi terlihat membesar.
“Itu gejala dari penyakit liver,” kata
tetangga yang dianggap cukup kaya di antara tetangga yang lain.
“Penderita liver akan mengalami
perubahan pada perut. Perut akan membuncit akibat pembengkakan. Sebaiknya
dioperasi, biar saya yang membiayai istrimu, ini demi keempat anakmu. Mereka
masih kecil.”
“Besok saya pesan becak untuk membawa
istrimu ke Rumah Sakit.” Tegas tetangga kaya itu.
Suasana
pun menjadi hening. Entah apa yang mamang pikirkan saat itu. Mamang tak
menjawab sepatah kata pun atas tawaran dari tetangga kaya raya itu. Terlebih lagi mimi. Mimi hanya diam dan memegang perut yang kerap membuatnya tak nyaman dalam posisi apapun.
Sepanjang malam mamang berpikir, terus
berpikir. Rintihan mimi membuat mamang semakin tak berdaya melihatnya. “Melas temen bojoku”, kata mamang. Tiba-tiba mamang tersadar dari lamunannya.
Ushollii
sunnatan tahajjudi rak’ataini lillaahi ta’aalaa, Allahhu Akbar,
***
Assalamualaikum
Warahmatullah, Assalamualaikum Warahmatullah,
Dua rakaat tahajud selesai.Dengan penuh harap, penuh ampunan, mamang memohon kepada Gusti Allah untuk kesembuhan mimi. Satu persatu air mata mamang menetes di atas sajadah yang sudah kusam warnanya.
“Ya allah, kula nyuwun petunjuk saking
njenengan. Sak temenane kula rmboten percaya kalih ucapane menungso, lamon
kados ini wontene, kula suwun paringaken waras kangge garwa kula. Paringaken petunjuk
kangge kula, Ya Allah.”Robbanaa aatinaa fiddunya khasanah, wafil aakhirotu khasanah, wahina azabannar, Aamiin...
***
Ooooaaaaa...ooooaaaa...ooooaaa..
“Astaghfirullahaladzim, ya Allah. Tapi suara bayi siapa itu? Anak saya empat-empatnya sudah
bukan bayi lagi.”
Mamang terkejut mendengar suara tangis bayi dipenghujung doa yang mamang panjatkan pada Gusti Allah. Mamang langusng berlari keluar rumah mencari sumber suara tangis bayi tersebut. Ternyata suaranya sudah tak terdengar lagi.
***
Adzan subuh berkumandang. Mamang mengulang doa yang sama. Memohon agar Gusti Allah mendengar dan mengabulkan doa yang telah dipanjatkan.
Jarum jam tak mau berhenti sedetikpun. Ia tetap bedetak menambah perhitungan waktu menyambut fajar.Kali ini mamang tak berharap sang fajar datang. Mamang tak kuasa melihat mimi dibawa ke rumah sakit untuk operasi.
Tiba-tiba saja mamang teringat suara tangis bayi yang terdengar di sela-sela doa yang sedang mamang panjatkan. “Apakah suara bayi tadi malam adalah bayi dalam
rahim istriku?”
“Apa mungkin ini jawaban dari Gusti Allah?” ucap
mamang penuh pengharapan.
Sekitar pukul 09.00 WIB tetangga yang
sudah berjanji membawa mimi untuk operasi sudah datang. Ia datang menaiki motor
dan membawa satu tumpangan becak sesuai dengan yang dijanjikan.
“Istriku tidak terkenal liver, tapi dia
sedang hamil anak kelimaku.”
“Itu bukan hamil, tapi itu pembengkakan
perut.”
“Saya sangat menghargai kebaikan Anda,
tapi saya yakin istri saya tidak sakit, dia hamil lagi.”
Mamang sangat memahami niat baik tetangga untuk membantu mimi. Tapi mamang tetap menolak kalau mimi harus dioperasi. Setelah perbincangan yang cukup memakan waktu, akhirnya tetangga kaya itu menyerah.
“Ya sudah, jika kamu menanggap demikian.
Semoga benar adanya.”
Sejak saat itu mamang selalu menguatkan
mimi dengan mengatakan bahwa mimi tidak sakit, tapi mimi sedang hamil. Sejak
itu pula, mimi mulai melawan sakitnya. Sedikit demi sedikit mimi mulai beraktifitas
seperti biasa. Mamang pun nguli lagi seperti biasa.
Sampai datang pada bulan ke sembilan. Keresahan mulai menghantui mimi.
***
“Sudah sembilan bulan lebih ko belum
lahiran juga?” Kata mimi.
“Mungkin anak kita kembar”, jawab mamang
tanpa dasar. “Besok kita ke bidan.”
“Kalau bidan juga bilang ini liver,
bagaimana?”
“Nanti aku sendiri yang akan membantu
kelahiran anak kita.”
Mamang sama sekali tidak tahu apa yang harus dijelaskan kepada mmi atas rasa kekhawatiran yang mimi alami. Tapi mamang selalu berusaha untuk meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
***
Esok pun datang. Mamang membawa mimi ke bidan. Mimi mendapat nomor antrian sepuluh.
“Bagaimana ini, Mang, perut saya sudah
membesar, kalau ternyata ini bukan hamil bagaimana?”
Sambil menggenggam tangan mimi, mamang berbisik “Gunakan nalurimu sebagai seorang ibu,
jangan terpengaruh omongan orang.”
***
“Nomor antrian sepuluh silahkan masuk!”
***
Meski mamang selalu terlihat tegar, tak dipungkiri rasa takut dan khawatir pun mamang rasakan. Mamang sedih jika kenyatannya berlainan dengan
harapan dan keyakinannya. Badan mamang gemetar melihat mimi berbaring diperiksa
oleh bidan. Bidan camat namanya.
“Silahkan, Bu, duduk. Perintah bidan
setelah selesai memeriksa mimi.”
Bu bidan menuliskan sesuatu di atas
kertas, tulisannya tak terbaca oleh mamang. Sangat berdebar jantung
mamang saat itu. Bagaimana kalau ternyata ...
“Jadi begini pak, hasil pemeriksaan bisa
diperkirakan hanya menunggu beberapa hari saja anak bapak dan ibu akan
lahir. Jika sudah tiba waktunya datang saja kesini nanti saya bantu
persalinannya.”
Tangis haru mamang dan mimi pecah. Bidan
camat melongo melihat mimi dan mamang.
“Mengapa ko menangis? Bayi bapak dan ibu
baik-baik saja. Sebentar lagi akan lahir. Mengapa bersedih?”
Kemudian mamang dengan tangis bahagia
menceritakan semua kisah yang dialami selama mimi mengandung. Bidan pun ikut terharu.
Bidan menganggap bahwa ini adalah keajaiban dari gusti Allah.
***
Hingga jatuhlah waktunya, mimi berjuang melahirkan anak kelimanya. Mamang menunggu mimi dengan sejuta perasaan yang mengharu biru. Segala kekhawatiran yang menakutkan ternyata tak terjadi. Entah ini kekhilafan dokter yang mendiagnosa mimi terkena liver atau bukan. Tapi mamang sangat meyakini bahwa ini adalah mujizat dari Gusti Allah. Ini rencana indah dari Gusti Allah. Ini cara Gusti Allah kembali mempercayakan mimi dan mamang menjaga amanah baru. Dikaruniakan lagi seorang anak yang sejak dalam kandungan sempat akan dioperasi, yang artinya jika operasi itu dilakukan maka tak akan lahir anak kelima mimi dan mamang.
Akhirnya, Jumat 10 Maret
1995 pukul 02.00 WIB lahirlah seorang bayi perempuan. Bayi itu adalah Aku. Kalau saat itu mamang mengizinkan mimi untuk operasi, maka tulisan ini takan pernah ada, maka cerita ini takan bisa aku bagikan. Maka aku takan pernah ada.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah menciptakan dan menitipkan aku pada kedua orang tua yang begitu hebat, begitu tangguh, dan begitu menyayangiku.
(Bagian
1, Bersambung pada bagian 2)