SUPERHEROKU
Karya : Ismi Izzati
Menatap langit saat adzan subuh
berkumandang itu, laksana melihat kepak sayap malaikat yang membentang luas dan
begitu indah. Langit seakan memancarkan kejernihan serta memberikan nuansa
kesejukan bagi jutaan penduduk bumi yang selalu bersujud saat penduduk bumi
yang lain masih terlelap. Ku nikmati setiap jengkal embun pagi nan sejuk itu
dengan binar mata yang tak hentinya berucap syukur atas karunia-Nya.
“Allahu akbar.”
Suara parau itu sangat lekat ditelinga
aku dan ibu. Suara yang tak lagi merdu
namun terasa begitu syahdu terdengar ditelingaku. Begitulah kira-kira saat ayah
mengumandangkan takbirratul ikhram untuk mengimami kami shalat subuh berjamaah
di rumah.
Usia ayah yang tak lagi muda sama sekali
tidak menyempitkan ketekunan dan semangatnya dalam berkerja untuk mencari
nafkah. Hampir setiap hari selesai shalat subuh, aku selalu mendengar alunan
suara yang selama ini dijadikan penopang hidup keluarga kami. Suara yang
mungkin mengganggu telinga tetangga kami yang masih tertidur pulas di kasur
empuknya. Yaa...itu suara perkakas ayah, suara itu terdengar tajam di telingaku
dan ketajaman suara itulah yang selalu membangkitkan semangatku.
“Ayah ... itu apa?” sambil menunjuk
benda yang sedang ayah pegang.
“Ini namanya toga Fit, toga ini dipakai
oleh mahasiswa yang telah lulus dan menjadi sarjana,” Jelas ayah sambil
memakaikan toga itu.
“Tapi ko ini pake daun nangka Ayah?” tanyaku
tak mengerti.
“Sekarang memang ayah buatkan dengan
daun nangka, tapi suatu saat nanti toganya beneran Fit dan akan dipakaian oleh
pimpinan kampus kaya di TV-TV,” ayah menjelaskan dengan mimik wajah penuh
harap.
Sambil membawa sangku nasi dan krupuk,
ibu mengajak ayah dan aku untuk sarapan .
“Fit ... ayah, kita sarapan dulu.”
“Iya bu,” jawab ayah dan aku dengan
kompak.
Dengan balutan seragam biru putih aku
berlari dari kamar dengan riang menjemput ibu yang sedari tadi menunggu di meja
makan untuk sarapan bersama.
“Fit ... ibu tak sempat masak sayur pagi
ini”, sambil menyodorkan krupuk, ”jadi pagi ini sarapannya pake nasi sama
krupuk ga apa-apa kan?”
Dengan suara tersedak, “Ngga , ngga
apa-apa kok bu, aku suka makan pake krupuk.”
Aku sangat mengerti ini hanya alasan ibu
saja, aku tau saat ini ibu tidak punya uang sehingga ibu tak masak sayur hari
ini. Uangnya habis terpakai untuk biaya pendaftaran aku masuk SMP. Tapi aku tau
ibu orang yang kuat, maka aku harus lebih kuat dari ibu.
“Orang itu hidup ya...bagaimana ia
menghidupkan hidupnya sendiri. Betul tidak nak?” tatapan ayah lekat menatapku yang sedang mengunyah
nasi.
Dengan
menggelengkan kepala aku balik bertanya,
“Maksud Ayah?”
“Lihat ayah Fit, selama kita mau
bersyukur dan menerima apa yang kita miliki maka nikmat itu akan kita rasakan dengan penuh kebahagiaan, jadi...”
Sambil menyuapkan aku nasi, ayah
melanjutkan nasehat pagi yang selalu ia tuangkan di meja makan .
“Kalau saat ini kita hanya makan nasi
sama krupuk, katakan saja krupuk ini enak...enak...enak, maka krupuknnya akan terasa
seperti daging sapi yang enak sekali,” Ujar ayah sambil memakan lahap
krupuknya.
Sambil tersenyum haru “hhheehhe aahhh Ayah
ada-ada saja.”
“Sudah-sudah ini sudah hampir pukul
07.00, nanti Fitri telat kesekolahnya, masa hari pertama masuk sekolah sudah
telat.” Sambil merapikan meja makan ibu mengalihkan pembicaraan.
“Ayo ayah kita berangkat, sepeda ayah
biar aku yang bawa keluar yah...”
Rasanya senang sekali pindah dari bangku
SD ke bangku SMP, akan lebih banyak pengalaman disana, akan ada teman baru,
guru baru dan cerita baru yang tentunya menyenangkan. Hari ini dan seterusnya
aku akan berada di satu sekolah bersama ayah. Eeiitss tapi ayah aku bukan guru
disana, ayah aku sedang bekerja membangun mushola dan renovasi ruang kelas di
sekolah itu. Ya...ayah aku seorang kuli bangunan.
“Fit ... kamu belajar yang bener yah,
jangan malas. Ayah tunggu cerita yang menyenangkan dari kamu nanti malam. Buat
ayah dan ibu bangga.”
“Siiaapp ayaah.” Sambil mencium tangan
ayah.
Aku berlari menuju kelas baru ku, tapi
rasanya ada yang aneh. Aku merasa ada banyak pasang mata yang menatapku dengan
mimik sinis. Tiba-tiba ada tiga orang anak mendekatiku.
Aku ulurkan tangan dan meminta
berjabatan , “Hai aku Fitri kelas VII B
.”
“Aku Nita, kamu anak kuli bangunan itu yah?, ko bisa sih
sekolah disini.”
“Iya, memangnya kenapa?” Aku turunkan
tanganku yang tak disambut oleh mereka.
“Kamu tanya kenapa? Ya ga level lah sama
kita,” ujar Nita dengan nada melengking.
“Lagian , bapaknya aja kuli pasti otak
kamu ngga beda jauh sama batu bata, hhaha.” Sambung salah seorang teman Nita.
Seketika itu aku terhentak, ternyata cerita menyenangkan yang ayah
harapkan justru akan menyakiti hatinya.
Entah karangan cerita seperti apa yang harus aku rangkai agar tidak menyakiti hati
ayah nanti. Ayah pasti akan menagih cerita menyenangkan pagi ini dariku.
Terik matahari menyayat langkah kakiku,
rasanya enggan sekali pulang. Aku tak mau ayah merasakan sakit hati seperti apa
yang kurasakan saat ini. Aku sangat menyayangi ayah.
Untunglah pada saat aku pulang sekolah,
ibu sedang tidak ada di rumah. Ayah pun masih kerja. Aku langsung bergegas ke
kamar dan tak mau menemui siapa pun.Aku tak sanggup untuk menceritakan kejadian
tadi, tapi aku lebih tak sanggup kalau harus membohongi ayah dengan merangkai
cerita lain.
Tiba-tiba, “Fit kamu udah pulang?”
Dengan terhentak kaget aku menjawab , “Iya
bu.”
“Ganti bajunya lalu kita makan dulu nak.”
“Ibu saja yang makan, aku masih kenyang
bu.” Ucapku dengan menahan isak tangis.
Sejak pulang sekolah tadi aku tak berani
keluar kamar, aku takut ibu menanyakan kesanku di sekolah baru. Pasti yang ibu
dan ayah harapkan adalah cerita yang menyenangkan. Aku takut ibu dan ayah sedih
mendengar ceritaku. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak membuat mereka sedih.
“Fitri kemana bu, ayah tidak melihatnya
sejak sore tadi.”
“Dia di kamar sejak pulang sekolah tadi
yah, dia ngga mau keluar.”
“Biar ayah yang membujuknya bu.”
Tok...tok...tok...”Fit buka pintunya ,
ayah mau masuk.”
Dengan langkah yang berat aku buka pintu
kamarku dan aku langsung memeluk ayah dengan linangan air mata yang tak bisa ku
bendung lagi.
“Kamu kenapa Fit? Cerita sama ayah.”
Sambil menegkkan bahuku.
“Tapi aku takut ayah marah.” Ucapku
dengan kepala tertunduk.
Aku duduk di sebelah ayah, dengan
menahan isak tangis aku mencoba menitih kata per kata untuk menceritakan kejadian
tadi pagi di sekolah.Aku menceritakan dengan gamblang betapa kata-kata Nita itu
sangat menyakiti hatiku dan aku takut ayah merasakan sakit yang sama.
Tiba-tiba ayah berdiri dan menghadapku, aku yakin pasti ayah marah.
“Hhahahhaa Fit...Fit...kamu ini ada-ada
saja, sejak kapan ayah mengajarkan kamu
menjadi orang yang lemah Fit? Lalu apa
yang bisa membuat ayah marah dengan cerita kamu ini? Dengarkan ayah sayang, ayah
tidak pernah merasa malu dengan apa yang ayah miliki karna semua ini nikmat
dari Allah yang wajib kita syukuri, sekarang hapus air mata kamu dan
buktikan kepada mereka bahwa kamu anak
ayah yang hebat lalu buktikan sama ayah kalau kamu bisa lebih baik dari
mereka.”
“Iya ayah, aku janji. Aku berjanji akan
membuat ayah dan ibu bangga. Aku akan tunjukan bahwa ayah ku yang kuli
bangungan adalah superhero yang luar biasa hebatnya, ayah yang selalu mengajarkan
betapa kerasnya hidup namun tetap harus ada kelembutan disana, Fitri sayang
ayah dan ibu.” Kita bertiga saling berpelukan.
Kejadian itu sangat terkenang di hatiku. Sejak saat itu aku bangkit. Aku akan tetap bangga dengan hidupku selama apa yang aku lakukan tidak merugikan orang lain. Aku berjanji bahwa hidupku akan aku perjuangkan untuk Ayah dan Ibu, untuk kebahagiaan mereka.
Kejadian itu sangat terkenang di hatiku. Sejak saat itu aku bangkit. Aku akan tetap bangga dengan hidupku selama apa yang aku lakukan tidak merugikan orang lain. Aku berjanji bahwa hidupku akan aku perjuangkan untuk Ayah dan Ibu, untuk kebahagiaan mereka.
FKIP Bahasa dan Sastra
Indonesia
Unswagati-Cirebon