Rabu, 09 Agustus 2017

Cerpen Ayah



SUPERHEROKU
Karya : Ismi Izzati

Menatap langit saat adzan subuh berkumandang itu, laksana melihat kepak sayap malaikat yang membentang luas dan begitu indah. Langit seakan memancarkan kejernihan serta memberikan nuansa kesejukan bagi jutaan penduduk bumi yang selalu bersujud saat penduduk bumi yang lain masih terlelap. Ku nikmati setiap jengkal embun pagi nan sejuk itu dengan binar mata yang tak hentinya berucap syukur atas karunia-Nya.
“Allahu akbar.”
Suara parau itu sangat lekat ditelinga aku dan  ibu. Suara yang tak lagi merdu namun terasa begitu syahdu terdengar ditelingaku. Begitulah kira-kira saat ayah mengumandangkan takbirratul ikhram untuk mengimami kami shalat subuh berjamaah di rumah.
Usia ayah yang tak lagi muda sama sekali tidak menyempitkan ketekunan dan semangatnya dalam berkerja untuk mencari nafkah. Hampir setiap hari selesai shalat subuh, aku selalu mendengar alunan suara yang selama ini dijadikan penopang hidup keluarga kami. Suara yang mungkin mengganggu telinga tetangga kami yang masih tertidur pulas di kasur empuknya. Yaa...itu suara perkakas ayah, suara itu terdengar tajam di telingaku dan ketajaman suara itulah yang selalu membangkitkan semangatku.
“Ayah ... itu apa?” sambil menunjuk benda yang sedang ayah pegang.
“Ini namanya toga Fit, toga ini dipakai oleh mahasiswa yang telah lulus dan menjadi sarjana,” Jelas ayah sambil memakaikan toga itu.
“Tapi ko ini pake daun nangka Ayah?” tanyaku tak mengerti.
“Sekarang memang ayah buatkan dengan daun nangka, tapi suatu saat nanti toganya beneran Fit dan akan dipakaian oleh pimpinan kampus kaya di TV-TV,” ayah menjelaskan dengan mimik wajah penuh harap.
Sambil membawa sangku nasi dan krupuk, ibu mengajak ayah dan aku untuk sarapan .
“Fit ... ayah, kita sarapan dulu.”
“Iya bu,” jawab ayah dan aku dengan kompak.
Dengan balutan seragam biru putih aku berlari dari kamar dengan riang menjemput ibu yang sedari tadi menunggu di meja makan untuk sarapan bersama.
“Fit ... ibu tak sempat masak sayur pagi ini”, sambil menyodorkan krupuk, ”jadi pagi ini sarapannya pake nasi sama krupuk ga apa-apa kan?”
Dengan suara tersedak, “Ngga , ngga apa-apa kok bu, aku suka makan pake krupuk.”
Aku sangat mengerti ini hanya alasan ibu saja, aku tau saat ini ibu tidak punya uang sehingga ibu tak masak sayur hari ini. Uangnya habis terpakai untuk biaya pendaftaran aku masuk SMP. Tapi aku tau ibu orang yang kuat, maka aku harus lebih kuat dari ibu.
“Orang itu hidup ya...bagaimana ia menghidupkan hidupnya sendiri. Betul tidak nak?” tatapan  ayah lekat menatapku yang sedang mengunyah nasi.
Dengan  menggelengkan kepala aku balik bertanya,
“Maksud Ayah?”
“Lihat ayah Fit, selama kita mau bersyukur dan menerima apa yang kita miliki maka nikmat itu akan  kita rasakan dengan  penuh kebahagiaan, jadi...”
Sambil menyuapkan aku nasi, ayah melanjutkan nasehat pagi yang selalu ia tuangkan di meja makan .
“Kalau saat ini kita hanya makan nasi sama krupuk, katakan saja krupuk ini enak...enak...enak, maka krupuknnya akan terasa seperti daging sapi yang enak sekali,” Ujar ayah sambil memakan lahap krupuknya.
Sambil tersenyum haru “hhheehhe aahhh Ayah ada-ada saja.”
“Sudah-sudah ini sudah hampir pukul 07.00, nanti Fitri telat kesekolahnya, masa hari pertama masuk sekolah sudah telat.” Sambil merapikan meja makan ibu mengalihkan pembicaraan.
“Ayo ayah kita berangkat, sepeda ayah biar aku yang bawa keluar yah...”
Rasanya senang sekali pindah dari bangku SD ke bangku SMP, akan lebih banyak pengalaman disana, akan ada teman baru, guru baru dan cerita baru yang tentunya menyenangkan. Hari ini dan seterusnya aku akan berada di satu sekolah bersama ayah. Eeiitss tapi ayah aku bukan guru disana, ayah aku sedang bekerja membangun mushola dan renovasi ruang kelas di sekolah itu. Ya...ayah aku seorang kuli bangunan.
“Fit ... kamu belajar yang bener yah, jangan malas. Ayah tunggu cerita yang menyenangkan dari kamu nanti malam. Buat ayah dan ibu bangga.”
“Siiaapp ayaah.” Sambil mencium tangan ayah.
Aku berlari menuju kelas baru ku, tapi rasanya ada yang aneh. Aku merasa ada banyak pasang mata yang menatapku dengan mimik sinis. Tiba-tiba ada tiga orang anak mendekatiku.
Aku ulurkan tangan dan meminta berjabatan , “Hai  aku Fitri kelas VII B .”
“Aku Nita,  kamu anak kuli bangunan itu yah?, ko bisa sih sekolah disini.”
“Iya, memangnya kenapa?” Aku turunkan tanganku yang tak disambut oleh mereka.
“Kamu tanya kenapa? Ya ga level lah sama kita,” ujar Nita dengan nada melengking.
“Lagian , bapaknya aja kuli pasti otak kamu ngga beda jauh sama batu bata, hhaha.” Sambung salah seorang teman Nita.
Seketika itu aku terhentak,  ternyata cerita menyenangkan yang ayah harapkan  justru akan menyakiti hatinya. Entah karangan cerita seperti apa yang harus aku rangkai agar tidak menyakiti hati ayah nanti. Ayah pasti akan menagih cerita menyenangkan pagi ini dariku.
Terik matahari menyayat langkah kakiku, rasanya enggan sekali pulang. Aku tak mau ayah merasakan sakit hati seperti apa yang kurasakan saat ini. Aku sangat menyayangi ayah.
Untunglah pada saat aku pulang sekolah, ibu sedang tidak ada di rumah. Ayah pun masih kerja. Aku langsung bergegas ke kamar dan tak mau menemui siapa pun.Aku tak sanggup untuk menceritakan kejadian tadi, tapi aku lebih tak sanggup kalau harus membohongi ayah dengan merangkai cerita lain.
Tiba-tiba, “Fit kamu udah pulang?”
Dengan terhentak kaget aku menjawab , “Iya bu.”
“Ganti bajunya lalu kita  makan dulu nak.”
“Ibu saja yang makan, aku masih kenyang bu.” Ucapku dengan menahan isak tangis.
Sejak pulang sekolah tadi aku tak berani keluar kamar, aku takut ibu menanyakan kesanku di sekolah baru. Pasti yang ibu dan ayah harapkan adalah cerita yang menyenangkan. Aku takut ibu dan ayah sedih mendengar ceritaku. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak membuat mereka sedih.
“Fitri kemana bu, ayah tidak melihatnya sejak sore tadi.”
“Dia di kamar sejak pulang sekolah tadi yah, dia ngga mau keluar.”
“Biar ayah yang membujuknya bu.”
Tok...tok...tok...”Fit buka pintunya , ayah mau masuk.”
Dengan langkah yang berat aku buka pintu kamarku dan aku langsung memeluk ayah dengan linangan air mata yang tak bisa ku bendung lagi.
“Kamu kenapa Fit? Cerita sama ayah.” Sambil menegkkan bahuku.
“Tapi aku takut ayah marah.” Ucapku dengan kepala tertunduk.
Aku duduk di sebelah ayah, dengan menahan isak tangis aku mencoba menitih kata per kata untuk menceritakan kejadian tadi pagi di sekolah.Aku menceritakan dengan gamblang betapa kata-kata Nita itu sangat menyakiti hatiku dan aku takut ayah merasakan sakit yang sama.
Tiba-tiba ayah berdiri dan  menghadapku, aku yakin  pasti ayah marah.
“Hhahahhaa Fit...Fit...kamu ini ada-ada saja, sejak kapan ayah mengajarkan  kamu menjadi orang yang  lemah Fit? Lalu apa yang bisa membuat ayah marah dengan cerita kamu ini? Dengarkan ayah sayang, ayah tidak pernah merasa malu dengan apa yang ayah miliki karna semua ini nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri, sekarang hapus air mata kamu dan buktikan  kepada mereka bahwa kamu anak ayah yang hebat lalu buktikan sama ayah kalau kamu bisa lebih baik dari mereka.”
“Iya ayah, aku janji. Aku berjanji akan membuat ayah dan ibu bangga. Aku akan tunjukan bahwa ayah ku yang kuli bangungan adalah superhero yang luar biasa hebatnya, ayah yang selalu mengajarkan betapa kerasnya hidup namun tetap harus ada kelembutan disana, Fitri sayang ayah dan ibu.” Kita bertiga saling berpelukan.
Kejadian itu sangat terkenang di hatiku. Sejak saat itu aku bangkit. Aku akan tetap bangga dengan hidupku selama apa yang aku lakukan tidak merugikan orang lain. Aku berjanji bahwa hidupku akan aku perjuangkan untuk Ayah dan Ibu, untuk kebahagiaan mereka.

FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia
Unswagati-Cirebon