Jumat, 13 Februari 2015

Analisis puisi dengan pendekatan mimetik



Analisis Sajak-sajak dengan Pendekatan Mimetik
Analisis ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Apresiasi Puisi
Dosen : Ira Rahayu, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh

Ismi Izzati       2A       113050183


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2014


Analisis Sajak- sajak dengan Pendekatan Mimetik

1           1. Analisis puisi Sajak  karya Sanusi Pane dengan pendekatan mimetik

Sajak
O, bukannya dalam kata yang rancak,
Kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.

            Perubahan pandangan tentang sajak sejalan pula dengan perubahan pandangan hidup Sanusi Pane sendiri. Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melewat ke negeri India yang sangat dikaguminya. Kisah pengalamannya selama mencari bahagia dan ketenangan batin dimuat dalam kumpulan sajak yang didalamnya memuat banyak tulisan ketika ia melewat ke India. Sanusi Pane menganggap dirinya sebagai seorang kelana yang berjalan kemana-mana mencari kebahagiaan dan kemudian mencari kebahagiaan dan kemudian sadar bahwa kebahagiaan itu didapatinya dalam batinnya sendiri.

2.      Analisis puisi Sebuah Jaket Berlumur Darah karya Taufik Ismail dengan pendekatan mimetik

Sebuah jaket berlumur darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai ke mana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!

Puisi tersebut berlatar belakang antara tanggal 20-28 Pebruari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa penting yaitu demonstrasi mahasiswa dan pelajar menuntut “tritura” sudah dimulai sejak 10 Januari. Tetapi hasilnya boleh dikatakan belum ada. Soekarno tidak mendengarkan “tritura”. Uang diganti, bensin dinaikan harganya. Ongkos bis kota dinaikan harganya. Kabinet dwikora memasukan menteri-menteri gestapu lebih banyak lagi. Demonstrasi dilakukan dengan aksi pengempesan ban mobil diseluruh kota sehingga lalu lintas lumpuh. Para mahasiswa duduk ditengah-tengah jalan. Menteri yang akan dilantik tidak bisa datang ke istana dengan menggunakan mobil sehingga harus dijemput dengan helikopter. Sekeliling istana penuh tank-tank baja dan pengawalan prajurit. Para demonstran tak henti-hentinya menyuarakan tuntutannya dan mengejek para prajurit itu sebagai “anjing istana”. Bentrokan lebih lanjut tak dapat dihindarkan. Penembakan terjadi. Arif Rachman Hakim tertembak dan wafat. Sehari sebelumnya dalam demonstrasi ke Sekretariat Negara  telah pula ada penembakan dan beberapa orang mahasiswa terluka. Tetapi para mahasiswa tidak jadi takut. Jaket penuh darah mahasiswa yang tertembak diikat pada sebuah tongkat dan dijadikan sebagai bendera perjuangan mereka. Meninggalnya Arif Rachman Hakim menyebabkan para mahasiswa dan pelajar menjadi lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rachman Hakim dilakukan secara pahlawan dan mendapat simpati dari seluruh lapisan masyarakat. Orang yang mengiringkan jenazah Arif Rachman Hakim ke pekuburan sangat banyak.

3             3.      Analisis puisi Aku karya Chairil Anwar dengan pendekatan mimetik
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang yang merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang, menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
dan aku lebih tak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Dalam puisi-puisi Chairil Anwar, kemerdekaan tidak hanya terbatas pada kemerdekaan sebagai bangsa, tetapi terutama adalah kemerdekaan manusia. Pada zamannya, Chairil Anwar tidak hanya berhadapan dengan penjajahan bangsa oleh bangsa, tapi juga dengan sikap-sikap feudal, hipokrisi, kebekuan nilai-nilai, dan bahkan penjajahan manusia oleh manusia. Nafas kemerdekaan manusia terasa hampir pada keseluruhan puisi-puisi Chairil Anwar. Chairil Anwar menempatkan kata pada kedudukannya tersendiri. Kedudukan justru pada maknanya, bukan pada wujud lahirnya. Ia menenmpatkan kata pada kedudukan yang amat penting, melalui makna yang terkaandung didalamnya. Suasana dibangun tidak hanya melalui keerdekaan bunyi, tapi terutama pada kaitan-kaitan maknanya. Kemerdekaan penggunaan kata itu dapat terlihat pada puisi Chairil Anwar yag sudah dituliskan diatas, yaitu puisi yang berjudul Aku

4.      Analisis puisi Tentang seorang yang terbunuh disekitar hari pemilihan umum karya Goenawan Muhammad dengan pendekatan mimetik

Tentang seorang yang terbunuh disekitar hari pemilihan umum

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”

Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan
kunang-kunang - tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.

“Berikan suara-Mu”

Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya ?

“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”

Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.

“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”

            Puisi diatas menggambarkan sisi lain dari sebuah makna kemerdekaan pada saat itu. Goenawan Muhammad memandang lain dari arti sebuah kemerdekaan yang dipermasalahkan melainkan memandang bahwa kemerdekaan terasa mengalir dengan tenang dan merdeka. Kemerdekaan dalam puisi-puisinya bukanlah suatu masalah tapi adalah suatu keadaan. Tidak ada protes didalamnya. Yang diundang barangkali adalah kearifan, kejatmikaandalam renungan. Bahkan terhadap masalah yang amat peka sehubungan dengan kemerdekaan pun tidak terasa ada semacam protes, kekecewaan, dan kekesalan.
            Kemerdekaan dalam puisi-puisi karya Goenawan Muhammad tidaklah hadir sebagai masalah, tapi sebagai suatu suasana. Ia tak dipermasalahkan, tapi melahirkan suasana. Ia tidak diributkan tapi diciptakan.