Analisis Sajak-sajak dengan Pendekatan Mimetik
Analisis ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah
Apresiasi Puisi
Dosen : Ira Rahayu,
S.Pd., M.Pd.
Disusun oleh
Ismi Izzati 2A 113050183
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SWADAYA
GUNUNG JATI
CIREBON
2014
Analisis Sajak- sajak
dengan Pendekatan Mimetik
1 1. Analisis puisi Sajak karya Sanusi Pane dengan pendekatan
mimetik
Sajak
O, bukannya dalam kata yang rancak,
Kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu.
Seperti matari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.
Perubahan
pandangan tentang sajak sejalan pula dengan perubahan pandangan hidup Sanusi
Pane sendiri. Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melewat ke
negeri India yang sangat dikaguminya. Kisah pengalamannya selama mencari
bahagia dan ketenangan batin dimuat dalam kumpulan sajak yang didalamnya memuat
banyak tulisan ketika ia melewat ke India. Sanusi Pane menganggap dirinya
sebagai seorang kelana yang berjalan kemana-mana mencari kebahagiaan dan
kemudian mencari kebahagiaan dan kemudian sadar bahwa kebahagiaan itu didapatinya
dalam batinnya sendiri.
2. Analisis puisi Sebuah Jaket Berlumur Darah karya Taufik Ismail dengan pendekatan
mimetik
Sebuah jaket berlumur darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai ke mana-mana
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai ke mana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai
perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
Puisi tersebut berlatar
belakang antara tanggal 20-28 Pebruari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa penting
yaitu demonstrasi mahasiswa dan pelajar menuntut “tritura” sudah dimulai sejak
10 Januari. Tetapi hasilnya boleh dikatakan belum ada. Soekarno tidak
mendengarkan “tritura”. Uang diganti, bensin dinaikan harganya. Ongkos bis kota
dinaikan harganya. Kabinet dwikora memasukan menteri-menteri gestapu lebih
banyak lagi. Demonstrasi dilakukan dengan aksi pengempesan ban mobil diseluruh
kota sehingga lalu lintas lumpuh. Para mahasiswa duduk ditengah-tengah jalan.
Menteri yang akan dilantik tidak bisa datang ke istana dengan menggunakan mobil
sehingga harus dijemput dengan helikopter. Sekeliling istana penuh tank-tank
baja dan pengawalan prajurit. Para demonstran tak henti-hentinya menyuarakan
tuntutannya dan mengejek para prajurit itu sebagai “anjing istana”. Bentrokan
lebih lanjut tak dapat dihindarkan. Penembakan terjadi. Arif Rachman Hakim
tertembak dan wafat. Sehari sebelumnya dalam demonstrasi ke Sekretariat
Negara telah pula ada penembakan dan
beberapa orang mahasiswa terluka. Tetapi para mahasiswa tidak jadi takut. Jaket
penuh darah mahasiswa yang tertembak diikat pada sebuah tongkat dan dijadikan
sebagai bendera perjuangan mereka. Meninggalnya Arif Rachman Hakim menyebabkan
para mahasiswa dan pelajar menjadi lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rachman Hakim
dilakukan secara pahlawan dan mendapat simpati dari seluruh lapisan masyarakat.
Orang yang mengiringkan jenazah Arif Rachman Hakim ke pekuburan sangat banyak.
3 3. Analisis puisi Aku karya
Chairil Anwar dengan pendekatan mimetik
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang yang merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang, menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
dan aku lebih tak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Dalam puisi-puisi Chairil
Anwar, kemerdekaan tidak hanya terbatas pada kemerdekaan sebagai bangsa, tetapi
terutama adalah kemerdekaan manusia. Pada zamannya, Chairil Anwar tidak hanya
berhadapan dengan penjajahan bangsa oleh bangsa, tapi juga dengan sikap-sikap
feudal, hipokrisi, kebekuan nilai-nilai, dan bahkan penjajahan manusia oleh
manusia. Nafas kemerdekaan manusia terasa hampir pada keseluruhan puisi-puisi
Chairil Anwar. Chairil Anwar menempatkan kata pada kedudukannya tersendiri.
Kedudukan justru pada maknanya, bukan pada wujud lahirnya. Ia menenmpatkan kata
pada kedudukan yang amat penting, melalui makna yang terkaandung didalamnya.
Suasana dibangun tidak hanya melalui keerdekaan bunyi, tapi terutama pada kaitan-kaitan
maknanya. Kemerdekaan penggunaan kata itu dapat terlihat pada puisi Chairil
Anwar yag sudah dituliskan diatas, yaitu puisi yang berjudul Aku
4. Analisis puisi Tentang seorang yang terbunuh disekitar hari pemilihan umum karya Goenawan Muhammad dengan pendekatan mimetik
Tentang seorang yang terbunuh disekitar hari pemilihan umum
“Tuhan, berikanlah suara-Mu,
kepadaku”
Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan
kunang-kunang - tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.
“Berikan suara-Mu”
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya ?
“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”
Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”
Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan
kunang-kunang - tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.
“Berikan suara-Mu”
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya ?
“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”
Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”
Puisi diatas menggambarkan sisi lain dari sebuah makna
kemerdekaan pada saat itu. Goenawan Muhammad memandang lain dari arti sebuah
kemerdekaan yang dipermasalahkan melainkan memandang bahwa kemerdekaan terasa
mengalir dengan tenang dan merdeka. Kemerdekaan dalam puisi-puisinya bukanlah
suatu masalah tapi adalah suatu keadaan. Tidak ada protes didalamnya. Yang
diundang barangkali adalah kearifan, kejatmikaandalam renungan. Bahkan terhadap
masalah yang amat peka sehubungan dengan kemerdekaan pun tidak terasa ada
semacam protes, kekecewaan, dan kekesalan.
Kemerdekaan dalam puisi-puisi karya Goenawan Muhammad
tidaklah hadir sebagai masalah, tapi sebagai suatu suasana. Ia tak dipermasalahkan,
tapi melahirkan suasana. Ia tidak diributkan tapi diciptakan.