Generasi ke Lima Belas
Siang membawa awan mendung yang begitu pekat mengitari langit hari itu.
Awan mendung yang semakin menimbulkan aroma mistis pada bangunan yang dipenuhi
aroma wangi oleh kembang dan pencahayaan berlampu kuning remang-remang. Sebuah bangunan
berarsitektur menyerupai kerajaan-kerajaan kuno itu dipenuhi kerumunan orang
yang mayoritas dari kalangan ibu-ibu, disana terlihat seorang laki-laki
mengenakan kemeja lengan panjang warna putih ditemani kain batik sebagai
pemanis celana yang ia kenakan. Lebih unik lagi ia membalut rambut hitam
pekatnya dengan blangkon serta menyelipkan keris dibelakang kain yang ia pakai.
Laki-laki dengan warna kulit yang hitam mengkilat itu terlihat berwibawa dan gagah banget.
Pak Syamsudin (44)
namanya, ia adalah seorang pemandu bagi peziarah Makam Sunan Gunung Jati yang
terkenal dengan sebutan Kuncen. Pak Syamsudin juga keturunan dari Adipati
Keling yang berasal dari sebuah daerah dekat Kediri Jawa Timur. Awalnya Adipati
Keling dan rombongannya datang ke Cirebon
dengan membawa rasa sakit hati, yang tidak diketahui terhadap siapa dan
karena alasan apa. Kemudian Adipati
Keling bertemu dengan Sunan Gunung Jati dan menjadi orang kepercayaan sang
sunan dengan gelar Adipati Pangeran Suranenggala.
Sebagai rasa terima
kasih sang adipati kepada Sunan Gunung Jati, ia pun bersumpah akan membaktikan
dirinya hingga tujuh turunan kepada Sunan Gunung Jati. Sampai pada
akhirnya, saat ini orang keturunan
Adipati Keling sudah sampai ke generasi ke lima belas, namun mereka termasuk Bapak
Syamsudin masih membaktikan dirinya terhadap Sunan Gunung Jati dengan menjaga
dan merawat makam sunan tanpa di gaji, di mana untuk kehidupan sehari-hari ia
hanya menggantungkan hidup dari sedekah yang diberikan oleh para peziarah
secara sukarela.
Pak Syamsudin yang menggantungkan hidupnya dari para
peziarah terlihat sangat sederhana. Dalam sehari penghasilannya tak menentu, sewu
rong ewu tetap ia terima dengan wajah berseri. Sebuah angka yang sama sekali
tak ia fikirkan, meski terkadang saat ia
memandu peziarah yang berasal dari luar kota ,ia tidak mendapat uang
sepeserpun. Kebanyakan dari para peziarah tersebut mengira bahwa juru kunci
disitu sudah mendapat gaji. Tak heran perlakuan semacam itu dirasakan oleh Pak
Syamsudin. Namun legowo lah yang selalu melekat pada hatinya.
Keringat berubah menjadi barisan doa dalam setiap
pengabdiannya yang begitu tulus. Sebuah pandangan yang menghentak kekaguman,
jiwa yang bersahabat membuatnya semakin terlihat seperti kilauan mentari
ditengah para peziarah. “Saya mengabdikan
diri saya sepenuhnya kepada Sunan Gunung
Jati dengan penuh ikhlas dan tanggung jawab, seperti apa yang Orang tua saya
katakan dulu ketika beliau masih hidup.” ujar Pak Syasudin. Terbukti selain
memandu para peziarah, Pak Syamsudin juga selalu membersihkan makam selama tiga
kali dalam seminggu dan selalu memperbarui dengan rangkaian bunga segar. Baginya
bekerja dengan ikhlas sudah menjadi suatu keharusan, karna keikhlasanlah yang
akan mengajarinya untuk hidup sederhana, “Kaya
harta hanya akan menciptakan manusia yang tamak, manusia yang selalu merasa
kurang dengan apa yang dimiliki.” tegas Pak Syamsudin. Hanya rasa ikhlas
dalam bekerjalah yang membuatnya selalu bersyukur atas nikmat yang Allah
berikan. Berapapun penghasilan yang ia dapat, ia selalu mensyukurinya bahkan
ketika seharian tak mendapat uangpun Pak Syamsudin masih berucap Alhamdulillah,
artinya ia masih terus bersyukur dalam keadaan apapun. Menurutnya positif
thinking kepada Allah dan ketulusan dalam setiap doa yang ia panjatkan adalah
paket untuk mengantarkannya pada takdir bahagia. Semoga kita bisa mengambil
sisi baik dari kisah Bapak Syamsudin.
Oleh :
Ismi Izzati
Kelas :
2A