Jumat, 13 Februari 2015

Feature Generasi ke Lima Belas



Generasi ke Lima Belas


Siang membawa awan mendung yang begitu pekat mengitari langit hari itu. Awan mendung yang semakin menimbulkan aroma mistis pada bangunan yang dipenuhi aroma wangi oleh kembang dan pencahayaan berlampu kuning remang-remang. Sebuah bangunan berarsitektur menyerupai kerajaan-kerajaan kuno itu dipenuhi kerumunan orang yang mayoritas dari kalangan ibu-ibu, disana terlihat seorang laki-laki mengenakan kemeja lengan panjang warna putih ditemani kain batik sebagai pemanis celana yang ia kenakan. Lebih unik lagi ia membalut rambut hitam pekatnya dengan blangkon serta menyelipkan keris dibelakang kain yang ia pakai. Laki-laki dengan warna kulit yang hitam mengkilat itu terlihat berwibawa dan gagah banget.
Pak Syamsudin (44) namanya, ia adalah seorang pemandu bagi peziarah Makam Sunan Gunung Jati yang terkenal dengan sebutan Kuncen. Pak Syamsudin juga keturunan dari Adipati Keling yang berasal dari sebuah daerah dekat Kediri Jawa Timur. Awalnya Adipati Keling dan rombongannya datang ke Cirebon  dengan membawa rasa sakit hati, yang tidak diketahui terhadap siapa dan karena alasan apa. Kemudian  Adipati Keling bertemu dengan Sunan Gunung Jati dan menjadi orang kepercayaan sang sunan dengan gelar Adipati Pangeran Suranenggala.
Sebagai rasa terima kasih sang adipati kepada Sunan Gunung Jati, ia pun bersumpah akan membaktikan dirinya hingga tujuh turunan kepada Sunan Gunung Jati. Sampai pada akhirnya,  saat ini orang keturunan Adipati Keling sudah sampai ke generasi ke lima belas, namun mereka termasuk Bapak Syamsudin masih membaktikan dirinya terhadap Sunan Gunung Jati dengan menjaga dan merawat makam sunan tanpa di gaji, di mana untuk kehidupan sehari-hari ia hanya menggantungkan hidup dari sedekah yang diberikan oleh para peziarah secara sukarela.
Pak Syamsudin yang menggantungkan hidupnya dari para peziarah terlihat sangat sederhana. Dalam sehari penghasilannya tak menentu, sewu rong ewu tetap ia terima dengan wajah berseri. Sebuah angka yang sama sekali tak ia fikirkan,  meski terkadang saat ia memandu peziarah yang berasal dari luar kota ,ia tidak mendapat uang sepeserpun. Kebanyakan dari para peziarah tersebut mengira bahwa juru kunci disitu sudah mendapat gaji. Tak heran  perlakuan semacam itu dirasakan oleh Pak Syamsudin. Namun legowo lah yang selalu melekat pada hatinya.
Keringat berubah menjadi barisan doa dalam setiap pengabdiannya yang begitu tulus. Sebuah pandangan yang menghentak kekaguman, jiwa yang bersahabat membuatnya semakin terlihat seperti kilauan mentari ditengah para peziarah. “Saya mengabdikan diri  saya sepenuhnya kepada Sunan Gunung Jati dengan penuh ikhlas dan tanggung jawab, seperti apa yang Orang tua saya katakan dulu ketika beliau masih hidup.” ujar Pak Syasudin. Terbukti selain memandu para peziarah, Pak Syamsudin juga selalu membersihkan makam selama tiga kali dalam seminggu dan selalu memperbarui dengan rangkaian bunga segar. Baginya bekerja dengan ikhlas sudah menjadi suatu keharusan, karna keikhlasanlah yang akan mengajarinya untuk hidup sederhana, “Kaya harta hanya akan menciptakan manusia yang tamak, manusia yang selalu merasa kurang dengan apa yang dimiliki.” tegas Pak Syamsudin. Hanya rasa ikhlas dalam bekerjalah yang membuatnya selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Berapapun penghasilan yang ia dapat, ia selalu mensyukurinya bahkan ketika seharian tak mendapat uangpun Pak Syamsudin masih berucap Alhamdulillah, artinya ia masih terus bersyukur dalam keadaan apapun. Menurutnya positif thinking kepada Allah dan ketulusan dalam setiap doa yang ia panjatkan adalah paket untuk mengantarkannya pada takdir bahagia. Semoga kita bisa mengambil sisi baik dari kisah Bapak Syamsudin.

Oleh                : Ismi Izzati
Kelas               : 2A